Loading...
NASIONAL.INFO -
Oleh: Es Ito
Di tahun 1950-an, pemerintah menggencarkan program pemberantasan buta huruf. Konon kabarnya karena disebut sebagai “operasi pemberantasan buta huruf” rakyat yang banyak lari ke gunung-gunung. Mereka pikir waktu itu, pemberantasan buta huruf itu operasi militer bersenjata. Walaupun tidak secepat Kuba, perlahan-lahan tingkat melek huruf di Indonesia terus meningkat hingga jelang tahun 1960.
Melek baca menguntungkan koran-koran yang memiliki haluan politik berbeda-beda. Rakyat jadi sasaran empuk agitasi ideologi. Rakyat yang masih baru bisa membaca dan belum mampu menganalisa jadi mudah terhasut. Apalagi kekuatan politik kemudian dikerucutkan dalam Nasakom, ruang untuk oposisi semakin terbatas. Rakyat yang baru melek huruf kemudian diarahkan untuk mendukung satu-satunya arah politik yang diciptakan oleh negara.
Labelling kemudian jadi alat yang ampuh untuk “membunuh” mereka yang berbeda. Senjata yang digunakan oleh kelompok yang merasa dirinya paling sahih mengamalkan revolusi. Orang-orang yang memiliki haluan pemikiran berbeda dianggap sebagai kontra-revolusi hingga anti Bung Karno. Tudingan ini bahkan juga menyasar tokoh-tokoh yang menggagas Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS). BPS tidak berumur panjang karena justru dianggap kontra-revolusi.
Ketika suasana politik semakin memanas, tudingan kontra revolusi menyasar beragam tokoh dari budayawan hingga ulama, dari petani hingga mantan tokoh pejuang kemerdekaan. Kita tahu, ujung dari labelisasi kontra revolusi ini benar-benar sebuah tragedi yang tidak mungkin kita benamkan begitu saja dalam sejarah Indonesia.
Rezim baru Suharto kemudian muncul. Perlahan tapi pasti, Suharto mengontrol segala sesuatunya termasuk media. Rakyat Indonesia “disekolahkan” untuk nasionalisme ala orde baru. Setelah melek baca, rakyat dipaksa melek Pancasila. Kebutuhan mereka dicukupi, demokrasi jadi seremoni. Mereka-mereka yang berani menyuarakan perbedaan, awalnya tidak banyak jumlahnya, dituding subversi dengan label eka dan eki. ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Label paling ditakuti adalah dicap PKI.
Selama 32 tahun, “negara” berhasil menghantui rakyat dengan berbagai macam ketakutan. Pada akhirnya negara kalah oleh tuntutan rakyat. Pelajaran dari orde baru, ternyata tidak semuanya bisa dikontrol, terutama soal perut rakyat. Ongkos yang ditimbulkan oleh reformasi 1998 tidak sedikit. Selama lebih 15 tahun, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, rakyat Indonesia menikmati reformasi.
Di awal milenial ini sepertinya ideologi akan musnah oleh gelombang informasi. Akses informasi yang mudah ditambah dengan kehadiran media sosial diperkirakan akan membuat ke-saling-mengerti-an antar umat manusia semakin terjembatani. Kita akan hidup dalam dunia dongeng yang ujung-ujungnya happily ever after. Perang dunia, dingin, Teluk dan beragam perang lainnya akan jadi kenangan museum.
Kenyataannya jauh panggang dari api. Dunia jadi tempat yang semakin menakutkan. Kebencian mudah ditebarkan, labelisasi semakin menjadi-jadi. Untuk menyampaikan aspirasi mereka secara membabi buta, orang-orang tidak perlu lagi turun ke jalan dengan risiko dihajar dan ditangkapi. Cukup duduk manis di depan laptop, memainkan jari sambil menghirup kopi. Kita pun melek teknologi tetapi labelisasi semakin menjadi-jadi.
Anti ke-bhinnekaan, sungguh istilah itu sulit untuk dimengerti ketika diarahkan pada pawai umat Islam. Jutaan orang yang menyuarakan aspirasi mereka (tentu hal ini dilindungi oleh Undang-Undang) diberi label anti ke-bhinnekaan. Bukankah aspirasi mereka yang berbeda itu justru menunjukkan ke-bhinnekaan? Jika kita satu suara dalam memandang satu isu, lalu dimana letak ke-bhinnekaan yang katanya indah itu?
Ketika negara membiarkan satu kelompok memberikan label kepada kelompok lain semaunya, maka sesungguhnya negara telah kalah. Negara tidak hadir untuk semua warga negara. Ujung-ujungnya labelisasi satu kelompok terhadap kelompok lainnya akan digunakan sebagai alat untuk membenarkan tindakan tidak adil negara nantinya.
Sejarah telah membuktikan, pembiaran labelisasi ini baik oleh kelompok tertentu maupun oleh negara sendiri, hanya akan membuat keadaan lebih buruk. Rakyat mungkin akan kalah tetapi generasi baru akan senantiasa lahir menunaikan utang mereka. (Itonesia)
Oleh: Es Ito
Di tahun 1950-an, pemerintah menggencarkan program pemberantasan buta huruf. Konon kabarnya karena disebut sebagai “operasi pemberantasan buta huruf” rakyat yang banyak lari ke gunung-gunung. Mereka pikir waktu itu, pemberantasan buta huruf itu operasi militer bersenjata. Walaupun tidak secepat Kuba, perlahan-lahan tingkat melek huruf di Indonesia terus meningkat hingga jelang tahun 1960.
Melek baca menguntungkan koran-koran yang memiliki haluan politik berbeda-beda. Rakyat jadi sasaran empuk agitasi ideologi. Rakyat yang masih baru bisa membaca dan belum mampu menganalisa jadi mudah terhasut. Apalagi kekuatan politik kemudian dikerucutkan dalam Nasakom, ruang untuk oposisi semakin terbatas. Rakyat yang baru melek huruf kemudian diarahkan untuk mendukung satu-satunya arah politik yang diciptakan oleh negara.
Labelling kemudian jadi alat yang ampuh untuk “membunuh” mereka yang berbeda. Senjata yang digunakan oleh kelompok yang merasa dirinya paling sahih mengamalkan revolusi. Orang-orang yang memiliki haluan pemikiran berbeda dianggap sebagai kontra-revolusi hingga anti Bung Karno. Tudingan ini bahkan juga menyasar tokoh-tokoh yang menggagas Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS). BPS tidak berumur panjang karena justru dianggap kontra-revolusi.
Ketika suasana politik semakin memanas, tudingan kontra revolusi menyasar beragam tokoh dari budayawan hingga ulama, dari petani hingga mantan tokoh pejuang kemerdekaan. Kita tahu, ujung dari labelisasi kontra revolusi ini benar-benar sebuah tragedi yang tidak mungkin kita benamkan begitu saja dalam sejarah Indonesia.
Rezim baru Suharto kemudian muncul. Perlahan tapi pasti, Suharto mengontrol segala sesuatunya termasuk media. Rakyat Indonesia “disekolahkan” untuk nasionalisme ala orde baru. Setelah melek baca, rakyat dipaksa melek Pancasila. Kebutuhan mereka dicukupi, demokrasi jadi seremoni. Mereka-mereka yang berani menyuarakan perbedaan, awalnya tidak banyak jumlahnya, dituding subversi dengan label eka dan eki. ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Label paling ditakuti adalah dicap PKI.
Selama 32 tahun, “negara” berhasil menghantui rakyat dengan berbagai macam ketakutan. Pada akhirnya negara kalah oleh tuntutan rakyat. Pelajaran dari orde baru, ternyata tidak semuanya bisa dikontrol, terutama soal perut rakyat. Ongkos yang ditimbulkan oleh reformasi 1998 tidak sedikit. Selama lebih 15 tahun, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, rakyat Indonesia menikmati reformasi.
Di awal milenial ini sepertinya ideologi akan musnah oleh gelombang informasi. Akses informasi yang mudah ditambah dengan kehadiran media sosial diperkirakan akan membuat ke-saling-mengerti-an antar umat manusia semakin terjembatani. Kita akan hidup dalam dunia dongeng yang ujung-ujungnya happily ever after. Perang dunia, dingin, Teluk dan beragam perang lainnya akan jadi kenangan museum.
Kenyataannya jauh panggang dari api. Dunia jadi tempat yang semakin menakutkan. Kebencian mudah ditebarkan, labelisasi semakin menjadi-jadi. Untuk menyampaikan aspirasi mereka secara membabi buta, orang-orang tidak perlu lagi turun ke jalan dengan risiko dihajar dan ditangkapi. Cukup duduk manis di depan laptop, memainkan jari sambil menghirup kopi. Kita pun melek teknologi tetapi labelisasi semakin menjadi-jadi.
Anti ke-bhinnekaan, sungguh istilah itu sulit untuk dimengerti ketika diarahkan pada pawai umat Islam. Jutaan orang yang menyuarakan aspirasi mereka (tentu hal ini dilindungi oleh Undang-Undang) diberi label anti ke-bhinnekaan. Bukankah aspirasi mereka yang berbeda itu justru menunjukkan ke-bhinnekaan? Jika kita satu suara dalam memandang satu isu, lalu dimana letak ke-bhinnekaan yang katanya indah itu?
Ketika negara membiarkan satu kelompok memberikan label kepada kelompok lain semaunya, maka sesungguhnya negara telah kalah. Negara tidak hadir untuk semua warga negara. Ujung-ujungnya labelisasi satu kelompok terhadap kelompok lainnya akan digunakan sebagai alat untuk membenarkan tindakan tidak adil negara nantinya.
Sejarah telah membuktikan, pembiaran labelisasi ini baik oleh kelompok tertentu maupun oleh negara sendiri, hanya akan membuat keadaan lebih buruk. Rakyat mungkin akan kalah tetapi generasi baru akan senantiasa lahir menunaikan utang mereka. (Itonesia)
Loading...