Loading...
Sebagaimana kebanyakan anak-anak yang dilahirkan sebagai “digital native”, anak-anak Anda mungkin memiliki kebiasaan multitasking (melakukan beberapa hal pada waktu yang bersamaan). Sejumlah penelitian menunjukkan anak-anak sekarang menghabiskan waktu sekitar tujuh setengah jam sehari dalam interaksi dengan teknologi yang tidak terkait dengan sekolah mereka.
Ini belum dihitung saat mereka melakukan “multitasking”, misalnya mengerjakan PR-nya sambil malang melintang di social media. Kalau saat-saat seperti itu dihitung juga, maka tingkat interaksi teknologi itu akan melonjak dengan sangat signifikan menjadi sepuluh jam empat puluh lima menit.
Anak-anak Anda mungkin mengerjakan PR sambil memeriksa sms atau BBM mereka, browsing di dunia maya, mendengarkan musik, semuanya pada saat yang sama—atau setidaknya mereka merasa melakukan multitasking. Mengapa mereka melakukannya? Jawaban sederhananya adalah karena mereka bisa dan memang itulah yang dilakukan anak-anak remaja zaman sekarang.
Masalahnya hanya satu: tak ada di dunia ini yang namanya multitasking. Faktanya adalah bahwa multitasking, sebagaimana dipahami banyak orang selama ini, hanyalah mitos yang lahir akibat kompleks teknologi-industri—“technological-industrial complex” yang membuat setiap orang merasa lebih kompeten, lebih efisien, lebih produktif dan ya, lebih keren!
Multitasking seharusnya mencakup keterlibatan kita dalam dua tugas secara simultan. Hal ini hanya mungkin dengan syarat: 1) setidaknya salah satu tugas sudah sangat dikuasai sehingga dapat dilakukan seolah secara otomatis, yang berarti tidak memerlukan fokus perhatian atau pemikiran secara khusus—misalnya makan atau berjalan, dan 2) tugas-tugas itu melibatkan proses otak yang berbeda.
Sebagai contoh, anak-anak dapat belajar secara efektif sambil mendengarkan musik klasik karena memahami bacaan dan memproses suara musik instrumental melibatkan bagian otak yang berbeda. Namun, kapasitas memahami bacaan sambil mendengarkan musik/lagu berlirik akan lebih kecil karena keduanya mengaktifkan pusat bahasa di otak.
Yang dilakukan anak-anak Anda sebenarnya adalah “task switching (melakukan tugas secara berganti-ganti).” Bukannya melakukan beberapa tugas secara bersamaan, sesungguhnya mereka melakukan tugas satu ke tugas yang lain secara berurutan.
Misalnya saja, mereka beralih dari pembicaraan telepon ke PR, lalu membaca sms atau BBM, lalu beralih lagi ke link baru di Internet di komputer mereka dan kembali lagi ke panggilan telepon. Dan mereka menganggap telah melakukan beberapa tugas/pekerjaan secara bersamaan. Padahal tidak demikian!
Penelitian menunjukkan dua keganjilan tentang apa yang selama ini kita sebut “multitasking” itu. Salah satu kesimpulan menyebutkan bahwa apa yang disebut multitasking, tidak seperti anggapan selama ini, sangatlah tidak efektif dan juga sama sekali tidak efisien.
Penemuan ini menunjukkan bahwa ketika anak Anda beralih fokus dari satu tugas ke tugas yang lain, transisi yang terjadi sama sekali tidak bisa berlangsung cepat ataupun mudah. Sebaliknya, ada interval waktu yang dibutuhkan otak untuk melepaskan diri dari tugas satu dan beralih ke tugas yang lain.
Sesungguhnyalah, waktu pergeseran itu menyebabkan penyelesaian tugas yang dibutuhkan dalam “multitasking” memerlukan waktu 40% lebih lama ketimbang bila mereka melakukan pekerjaan secara tunggal.
Sebuah penelitian yang dilakukan pada 2010 juga menyebutkan hasil mengejutkan: mereka yang menganggap dirinya multitasker terbaik ternyata adalah multitasker terburuk. Mereka yang menganggap dirinya multitasker kronis biasanya membuat kesalahan lebih banyak, hanya dapat mengingat hal-hal secara lebih sedikit, dan memerlukan banyak waktu untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Penelitian lain juga menunjukkan hasil PR anak-anak akan lebih buruk bila mereka selesaikan tugas itu sambil menonton televisi.
Anak-anak yang berada di depan komputer mereka sambil menonton televisi juga dicatat mengalami tingkat gangguan yang tinggi. Penelitian ini merekam gerakan mata dan menemukan bahwa, selama 30 menit, anak-anak beralih perhatian dari komputer ke televisi hingga 120 kali.
Yang mengherankan, para partisipan dalam penelitian ini sama sekali tidak sadar betapa besar gangguan fokus yang mereka alami, dan merasa hanya berpindah-pindah pandangan dari komputer ke televisi sebanyak 15 kali dalam waktu setengah jam.
Lebih mengherankan lagi, waktu rata-rata mereka menatap televisi dan komputer pada suatu waktu adalah dua dan enam detik! Nah, dengan gambaran gangguan semacam ini, bayangkan saja bagaimana anak akan memahami pelajaran kalau dia juga melakukan hal lain saat belajar. [PN/mizanmag/drjimtaylor.com]
Loading...