-->

TOP-LEFT ADS

Selasa, 22 November 2016

Baca! Hikayat Konglo & Bankir di Belakang Jokowi

Loading...
NASIONAL.INFO - SAAT Joko Widodo (Jokowi), Gubernur DKI, diputuskan menjadi calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), pada 14 Maret 2014, sehari sebelumnya telah digelar pertemuan tertutup antara Ketua Umum  PDIP dengan 60-an pengusaha, di markas PDIP, Leteng Agung, Jakarta Selatan.

Sayangnya, tidak ada informasi yang transparan tentang siapa saja 60-an pengusaha tersebut. GOLDBank mencoba menelisik nama-nama tersebut, namun hasilnya informasi yang didapat tidak utuh. Para elit PDIP yang dihubungi lebih memilih untuk menyimpan nama-nama tersebut.

Ini bisa dimaklumi lantaran demi menjaga etika, sehingga nama-nama tersebut tidak menjadi konsumsi publik. Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo kala itu hanya mengatakan, bahwa mereka yang bertemu dengan Ketua Umum PDIP hanyalah para pengusaha muda asal Jakarta, dan hanya beberapa saja yang berasal dari daerah.
Image result for jokowi
 Rumor yang beredar, bahwa mereka sesungguhnya hanyalah perwakilan dari sejumlah pengusaha kelas kakap negeri ini, yang bertemu dengan Megawati dalam rangka memberikan komitmen dukungan atas rencana pencapresan Jokowi. Ini boleh jadi benar adanya. Sebab, sejumlah media yang memantau pertemuan tersebut, sama sekali tidak melihat atau menemukan adanya pebisnis besar dalam pertemuan tersebut.

Sejauh ini nama-nama yang ada memang masih simpang siur. Majalah bisnis terkemuka dunia, Forbes, belum lama mempublikasi ribuan nama pebisnis dunia yang dinobatkan sebagai para miliarder dunia dengan kekayaan yang sangat fantastis. Nama-nama itu disusun dalam sebuah pemeringkatan (ranking). Dari daftar itu, ternyata terdapat puluhan pebisnis asal Indonesia yang masuk dalam pemeringkatan.

Dalam daftar itu, diantaranya terdapat nama-nama seperti, Robert Budi Hartono, Michael Bambang Hartono, Chairul Tanjung, Mochtar Riady, Peter Sondakh, Sukanto Tanato, Theodore P Rachmat, Dr. Tahir, Eka Tjipta Widjaja, Hary Tanoesudibjo, Murdaya Poo, Ir. Ciputra, dan masih banyak lagi.

Semua tahu, nama-nama tersebut memang dikenal sebagai pebisnis papan atas Indonesia, yang memiliki bisnis dengan skala besar, dan menggurita (konglomerasi). Pertanyaannya kemudian, apakah diantara mereka ada yang menjadi bagian dari 60-an pengusaha yang selama telah berkomitmen mendukung pencapresan Jokowi? Mari kita telaah satu per satu diantara dari nama-nama yang ada.

Diawali dengan Robert Budi Hartono (73 tahun) dan Michael Bambang Hartono (75 tahun), yang keduanya merupakan pengendali kerajaan bisnis Djarum. Kedua Hartono bersaudara ini merupakan orang terkaya nomor satu dan nomor dua di negeri ini, versi majalah tersebut. Robert memiliki kekayaan US$ 8,4 miliar atau lebih dari Rp 84 triliun, dan sang kakak, Michael dengan kekayaan US$ 8,1 miliar atau lebih dari Rp 81 triliun.

Sumber pundi kekayaan keduanya bukan hanya berasal dari industri rokok, tapi juga sektor bisnis lainnya, seperti properti (Menara BCA, Hotel Indonesia Kempinsky), perkebunan sawit, industri elektronik (Polytron) media digital (kaskus dan bli-bli), dan perbankan  lainnya.

Bank BCA semula adalah milik Grup Salim. Sekadar mengingatkan, Djarum mulai mengambil alih saham bank swasta terbesar negeri ini sejak 2005, dari semula hanya 47,15%, lalu menjadi 51% pada Desember 2010, sehingga menjadikannya sebagai pemegang saham mayoritas.

Namun sangat tidak mungkin jika kedua nama ini menjadi pendukung PDIP, lantaran keduanya selama ini memiliki hubungan yang sangat dekat dengan pendiri Partai Demokrat, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang sekaligus Presiden RI saat ini. Jadi, kedua nama ini bisa kita abaikan.

Berikutnya, Chairul Tanjung. Ia orang terkaya nomor tiga di Indonesia. Dalam pentas bisnis Indonesia, pria kelahiran Jakarta, 16 Juni 1952 ini, dijuluki sebagai “The Rising Star”, lantaran meroket dengan cepat di tengah ketatnya persaingan bisnis saat ini. Chairul adalah sosok yang sukses membangun gurita bisnis dengan nama CT Corp (semula bernama Para Group).

Bisnis utamanya bergerak di bidang perbankan (Bank Mega) dan jasa keuangan lainnya, penyiaran (Trans TV dan Trans 7), media digital (detik.com), properti, ritel (Carrefour), penerbangan (mengepit saham Garuda Indonesia), dan lainnya.

Selain sebagai pebisnis, ia merupakan Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN), yakni sebuah lembaga non-kementerian yang bertugas untuk membantu presiden dalam mempercepat pembangunan perekonomian nasional, dan kegiatannya mendapat anggaran dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Dengan posisi seperti ini, jelas CT (begitu biasanya nama disingkat), tak mungkin masuk dalam kategori konglomerat atau bankir yang menjadi pendukung Jokowi. Terlebih beberapa kali CT tercatat bertindak sebagai mediator pertemuan antara SBY dengan Forum Pemimpin Redaksi (Pemred), baik di Jakarta maupun di Bali saat digelar KTT G 20.

Bagaimana dengan Mochtar Riady? Pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 12 Mei 1929, ini dijuluki sebagai bankir bertangan dingin. Ia adalah bankir yang menjadikan BCA, bank yang semula milik keluarga Salim, menjadi bank swasta terkemuka di negeri ini. Pada tahun 1980-an, Mochtar duduk sebagai eksekutif puncak di BCA, sebelum akhirnya ia mendirikan Lippobank (Bank Lippo)

Lippobank inilah cikal bakal Grup Lippo. Saat ini Group Lippo memiliki lima bisnis utama, yaitu jasa keuangan dan perbankan, properti, infrastruktur, manufaktur (industri komponen elektronik, komponen otomotif, industri semen, porselen, batu bara dan gas bumi), dan industri media (cetak, penyiaran, dan multimedia).

Ayah dari James Riady ini memiliki kekayaan senilai US$ 2,8 miliar, dan dinobatkan sebagai orang terkaya nomor lima negeri ini.  Sebagai salah satu taipan dan bankir terkemuka tanah air, Mochtar dan keluarga dikenal dermawan. Duitnya pun kini tak lagi diinvestasikan bagi mengejar keuntungan semata, melainkan juga bagi kepentingan sosial. Ia misal, kini banyak membangun Rumah Sakit Siloan, yang didirikan di berbabagai proyek properti Lippo.

Duitnya pun mengalir untuk membantu masyarakat saat Jakarta dilanda banjir. Bersama menantunya, Dato Sri Prof. Dr. Tahir atau karib disapa Tahir,  dan juga Alim Markus, 63 tahun,  pemilik Maspion Grup, raksasa bisnis di bidang alat-alat kebutuhan rumah tangga. Ketiganya urunan menggelontorkan dana sebesar Rp 7 miliar, dalam bentuk pengadaan air bersih, buku dan juga seragam sekolah bagi anak-anak korban banjir.

Sebelumnya duit Grup Lippo marak dikabarkan terbang ke Amerika Serikat untuk mendanai kampanye Bill Clinton, sebagai kandidat presiden AS ke-42, pada 1992. Clinton dan James, putra Mochtar, memang memiliki hubungan pertemanan, dan James dikabarkan menyumbang US$ 200 ribu kepada Clinton dari Partai Demokrat. Saat ini pun, keluarga Mochtar dikabarkan menyokong PDIP. Hanya saja, berapa besar sokongan Grup Lippo kepada PDIP, sejauh ini tak terungkap.

Namun mengenai bantuan ketiga konglomerat itu kepada Pemprov DKI, Tahir yang mewakili ketiganya memiliki alasan tersendiri. “Kami bantu hanya karena Pak Jokowi. Dia itu prorakyat, jujur dan lugas,” ujar Tahir, saat menyerahkan bantuan, pada Januari lalu, sebagaimana dikutip sebuah laman berita. Seperti diketahui, Tahir pemilik kerajaan bisnis di bidang keuangan, Mayapada Grup, adalah pemilik kekayaan US$ 1,85 miliar atau orang terkaya nomor sepluh di Indonesia. Dan selain memberi bantuan kepada korban bankir, secara pribadi, Tahir pun membantu Jokowi, dengan cara menyumbang 10 bus.

Adapun Alim Markus, meski tidak masuk dalam daftar miliarder dunia, namun pemilik Bank Maspion ini masuk dalam jajaran orang terkaya Indonesia di peringkat 37, dengan kekayaan sebesar US$ 140 juta, versi majalah bisnis tadi.  Walaupun Alim Markus membantu masyarakat Jakarta, namun tak bisa diartikan dirinya sebagai penyokong politik Jokowi.

Apalagi dalam iklan produk Maspion tersebut, Marzuki Ali, Ketua DPR yang juga petinggi Partai Demokrat, didaulat menjadi model iklan tersebut. Keduanya dalam iklan mempopulerkan jargon, “Cintailah produk-produk dalam negeri”. Nama yang satu ini juga bisa diabaikan.

Lalu bagaimana dengan nama-nama lainnya? Murdaya Poo, pemilik kelompok usaha Berca, misalnya. Ia juga tidak mungkin. Sebab, Poo semula sempat sebagai kader PDIP, dan duduk sebagai bendahara partai. Tapi, karena ia terlibat dalam kasus Bank Century, ia kemudian dicopot dari jabatan dan keanggotaan.

Adapun nama-nama lain seperti Peter Sondakh, Sukanto Tanato, Theodore P Rachmat, Eka Tjipta Widjaja, Hary Tanoesudibjo, Ir. Ciputra, pun sangat tidak mungkin menjadi pendukung PDIP atau Jokowi. Peter Sondakh, pemilik Rajawali Corporation, sejak awal dikenal sebagai pengusaha yang selalu berdekatan dengan keluarga Soeharto, terutama Bambang Trihatmodjo. Theodore P Rachmat begitu juga, lebih patut disebut sebagai profesional sejati. Sedangkan Sukanto Tanoto, pemilik kelompok usaha Raja Garuda Mas (RGM) kini tengah bermasalah kasus pajak, dan tengah dibidik oleh lembaga rasuah KPK.

Eka Tjipta Widjaja, pendiri kerajaan bisnis Sinar Mas, adalah konglomerat yang loyal kepada pemerintah Orde Baru. Usia Eka kini telah 91 tahun, dan jauh dari hiruk pikuk politik. Apalagi Harry Tanoesudibjo, pemik MNC Group yang bergerak di bidang investasi, perbankan (Bank MNC), jasa keuangan, dan bisnis media ini adalah calon wakil presiden dari Partai Hanura.

So, dari semua itu, lalu siapakah sesungguhnya yang benar-benar riil menjadi pendukung dana politik Jokowi atau PDIP?  Agaknya semua itu hanya sebatas rumor saja, dan kalau pun benar-benar ada, sulit untuk dibuktikan. [goldbank]
Loading...
Back To Top