Loading...
NASIONAL.INFO - DPR cukup geram menyambut keluarnya aturan terbaru mengenai aset BUMN. Alhasil, lembaga para wakil rakyat di Senayan itu melayangkan kritik.
Wakil Ketua Komisi VI DPR, Inas Nasrullah Zubir mengungkapkan, aturan tersebut bisa berbahaya karena BUMN bisa dialihkan ke perusahaan swasta atau asing.
"(Dengan aturan tersebut, red) bisa terjadi pemindahtanganan aset BUMN kepada Perseroan Terbatas, baik milik BUMN maupun Swasta lainnya bahkan asing dengan cara dijadikan penyertaan modal Negara dalam suatu perusahaan," ujarnya kepada wartawan, kemarin.
Politisi Partai Hanura itu memberikan contoh, perusahaan seperti Pertamina yang merupakan BUMN bisa saja dialihkan ke perusahaan asing dengan mekanisme penyertaan modal negara.
"Contohnya, bisa saja suatu saat aset negara di Pertamina dijadikan penyertaan modal negara di PT Chevron Indonesia. Aturan ini sangat berbahaya. Karena aset negara bisa pindah ke perusahaan asing," tambah Inas.
Dikatakan Inas, penyertaan Modal Negara (PMN) tanpa mekanisme APBN berarti bisa juga negara memberikan suntikan modal ke perusahaan asing atau swasta lainnya. "Ini jelas menabrak UU nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN," imbuhnya.
Hal senada dikatakan Komisi VI DPR RI, Zulfan Lindan, DPR merasa kurang setuju terkait dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 72 tahun 2016, yang tidak mengikutsertakan DPR dalam hal pengalihan aset BUMN.
Dia mengingatkan, BUMN bukanlah milik pemerintah, melainkan milik negara. Sebab dirinya menilai, selama ini pemerintah berfikir jika BUMN ini hanyalah milik pemerintah.
"Bukan milik presiden, bukan milik menteri atau seluruh kabinet, tapi ini milik rakyat, milik negara," ungkapnya, kemarin.
Oleh karena itu, Zulfan menjelaskan, DPR yang merupakan representasi dari rakyat haruslah dilibatkan dalam hal tersebut.
"Kan sudah jelas dalam aturan ketatanegaraan kita, karena ini milik negara, jadi ada representasi. Parlmenen, DPR, itu kan representasi dari rakyat, oleh karena itu sebagai stoke holder maka DPR harus menjaganya," terang dia.
Dirinya menilai, DPR perlu dilibatkan untuk dapat mengawasi serta mengkaji rencana pemerintah dalam mengambil keputusan. Hal itu tercantum dalam PP nomor 44 tahun 2005.
"Di PP nomor 44 tahun 2005, menjelaskan bahwa penyertaan modal dan segalam macam terhadap BUMN ini harus melalui APBN. APBN ini kan harus dibahas di DPR atau menteri yang bersangkutan dengan DPR," kata dia.
Oleh karena itu, dia menegaskan, yang menyangkut PMN, menyangkut pengalihan saham dan lain-lain harus atas dasar pengwasan atau dibicarakan dengan DPR.
Diketahui, pemerintah baru saja merilis PP Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
PP 72 tahun 2016, di Pasal 2A menuai banyak kontra. Pasalnya negara bisa melepaskan kepemilikannya di sebuah perusahaan tanpa melalui DPR.
Berikut PP 72 tahun 2016 pasal 2A : (1) Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. [opinibangsa.com / [idp]
Wakil Ketua Komisi VI DPR, Inas Nasrullah Zubir mengungkapkan, aturan tersebut bisa berbahaya karena BUMN bisa dialihkan ke perusahaan swasta atau asing.
"(Dengan aturan tersebut, red) bisa terjadi pemindahtanganan aset BUMN kepada Perseroan Terbatas, baik milik BUMN maupun Swasta lainnya bahkan asing dengan cara dijadikan penyertaan modal Negara dalam suatu perusahaan," ujarnya kepada wartawan, kemarin.
Politisi Partai Hanura itu memberikan contoh, perusahaan seperti Pertamina yang merupakan BUMN bisa saja dialihkan ke perusahaan asing dengan mekanisme penyertaan modal negara.
"Contohnya, bisa saja suatu saat aset negara di Pertamina dijadikan penyertaan modal negara di PT Chevron Indonesia. Aturan ini sangat berbahaya. Karena aset negara bisa pindah ke perusahaan asing," tambah Inas.
Dikatakan Inas, penyertaan Modal Negara (PMN) tanpa mekanisme APBN berarti bisa juga negara memberikan suntikan modal ke perusahaan asing atau swasta lainnya. "Ini jelas menabrak UU nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN," imbuhnya.
Hal senada dikatakan Komisi VI DPR RI, Zulfan Lindan, DPR merasa kurang setuju terkait dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 72 tahun 2016, yang tidak mengikutsertakan DPR dalam hal pengalihan aset BUMN.
Dia mengingatkan, BUMN bukanlah milik pemerintah, melainkan milik negara. Sebab dirinya menilai, selama ini pemerintah berfikir jika BUMN ini hanyalah milik pemerintah.
"Bukan milik presiden, bukan milik menteri atau seluruh kabinet, tapi ini milik rakyat, milik negara," ungkapnya, kemarin.
Oleh karena itu, Zulfan menjelaskan, DPR yang merupakan representasi dari rakyat haruslah dilibatkan dalam hal tersebut.
"Kan sudah jelas dalam aturan ketatanegaraan kita, karena ini milik negara, jadi ada representasi. Parlmenen, DPR, itu kan representasi dari rakyat, oleh karena itu sebagai stoke holder maka DPR harus menjaganya," terang dia.
Dirinya menilai, DPR perlu dilibatkan untuk dapat mengawasi serta mengkaji rencana pemerintah dalam mengambil keputusan. Hal itu tercantum dalam PP nomor 44 tahun 2005.
"Di PP nomor 44 tahun 2005, menjelaskan bahwa penyertaan modal dan segalam macam terhadap BUMN ini harus melalui APBN. APBN ini kan harus dibahas di DPR atau menteri yang bersangkutan dengan DPR," kata dia.
Oleh karena itu, dia menegaskan, yang menyangkut PMN, menyangkut pengalihan saham dan lain-lain harus atas dasar pengwasan atau dibicarakan dengan DPR.
Diketahui, pemerintah baru saja merilis PP Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
PP 72 tahun 2016, di Pasal 2A menuai banyak kontra. Pasalnya negara bisa melepaskan kepemilikannya di sebuah perusahaan tanpa melalui DPR.
Berikut PP 72 tahun 2016 pasal 2A : (1) Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. [opinibangsa.com / [idp]
Loading...