-->

TOP-LEFT ADS

Selasa, 19 April 2016

Jangan Buruk Sangka Bila Tertimpuk Batu

Loading...


Dia, lelaki yang kekurangan, tapi dia memiliki apa yang disebut kegigihan. Bekerja sebagaiburuh bangunan, bertemu semen dan pasir. Las dan besi. Peluhnya mengucur lagi—lebih deras dan pasti. Pekerjaannya selesai pukul 11 malam. Dan seperti janji, ia dibayar. Ada beberapa lembar, tapi nominalnya menggiurkan.

Langkahnya ringan keluar area proyek. Hari ini ia bisa mulai membayar utang. Besok pagi adik-adiknya dapat kenyang dan tak lagi menatapi tanah bila tiba di gerbang sekolah. Kartu SPP mereka akan mulai diisi bagian administrasi. Guru-guru tidak perlu lagi menegur atau memulangkan mereka. Ia adalah kepala keluarga sekarang.

Oleh karena itu, semangatnya demikian membara. Amat gesit dan patuh. Tidak menunda bila dapat amanah. Langsung ditunaikan dengan kualitas memuaskan. Siapa yang tak senang melihat orang seperti itu? Ia bersinar di mata para kuli yang kerap meminta bantuannya.

Ia cemerlang di daftar penilaian mandornya. Beberapa orang bahkan mengungkapkan kekaguman atas gaya ikhtiarnya. Pemuda itu hanya tersenyum, berterima kasih, lalu kembali bekerja.

Pada permulaan minggu ke-2 ia bekerja, seperti biasa, pemuda itu datang pagi-pagi sekali. Begitu rutinitas pekerjaan hampir dimulai, ia sudah bersiap-siap dan mengecek seluruh tugasnya kemarin. Ia tidak diwajibkan, tapi tetap saja dilakoninya. Saat pekerja-pekerja berdatangan, ia telah mengetahui apa-apa saja yang kurang dan perlu diperbaiki hari itu. Dan, ia pun kembali berjibaku.

Hari hampir siang ketika proyek didatangi sang pemilik proyek. Mandor langsung menghadap. Lelaki tua dengan jas rapi dan janggut keperakan itu meminta diantar ke atas gedung yang hampir rampung. Mandor menyanggupi.

Sepanjang perjalanan, sang pemilik bertanya macam-macam tentang pembangunan. Mandor menjawabnya tangkas. Ia telah mengamati seluruh detail yang ada. Tidak ada masalah menjawab pertanyaan soal apa pun yang terkait dengan proyek. Sumber daya alamnya, sumber daya manusianya, perkiraan dan finishingnya. Sang pemilik mengangguk-angguk sambil mengedarkan pandangan. Mengangguk-angguk senang, progres gedungnya berjalan lancar.

“Oh, ya,” tiba-tiba sang pemilik gedung berkata, “ada tidak orang yang Anda kenal rajin dan ulet bekerja di antara para pekerja? Saya sedang mencari orang seperti itu untuk dipekerjakan di gedung ini bila telah selesai.”

Sang mandor berpikir sejenak. Tak lama dia berkata, “Ada, Bos! Saya kenal orangnya. Sudah beberapa hari saya amati, dia memang rajin. Kerjaannya selalu beres dan tidak pernah membantah. Orangnya juga baik dan santun.”

“Begitu? Wah, panggil sekarang. Saya tunggu di sini. Tapi cepat, ya? Saya tidak punya waktu.”
Mandor segera membalikkan badan menuju tepi gedung. Dari atas, retinanya mencari-cari lelaki muda itu. Yang gigih dan ramah itu.

Didapatinya ia tengah berada dekat mesin pengaduk semen. Sang mandor berteriak memanggil, tapi pemuda itu tidak mendongak. Dia masih terus sibuk dengan pekerjaannya. Dia terlalu fokus dengan pekerjaannya.

Sang mandor terus berteriak-teriak dari atas. Agak kesal juga karena ia lupa membawa telepon selulernya. Kalau ia harus turun, akan memakan waktu, sedang ia diminta cepat. Bagaimana caranya agar lelaki itu bisa menoleh ke atas?

Sang mandor memutar akal. Ah, dapat! Dia akan menimpuknya pakai batu. Yang kecil saja, bukan yang besar. Di bawah, si pemuda mengaduh kesakitan. Seketika ia teralihkan dari pekerjaan dan memindahkan pandangannya ke atas gedung.

Tampak mandor sedang mengerutkan muka dan menggerakkan tangan seolah memanggilnya. “Sini,” gerak mulut yang ia baca. Lelaki muda itu pun segera meletakkan seluruh pekerjaannya dan langsung melangkah ke atas gedung.

Dalam perjalanan, pemuda itu memikirkan terus apa yang terjadi. Kenapa ia ditimpuk? Kenapa sang mandor menyakitinya? Apakah pekerjaannya ada yang salah? Bukankah ia telah bekerja lebih baik dari kuli lainnya?

Dia merasa sedikit tidak terima dengan perlakuan sang mandor. Kenapa ia harus disakiti padahal ia tidak pernah menyakiti hati sang mandor? Lalu, buat apa ia dipanggil? Apakah ia akan diomeli? Atau, diberhentikan?

Pemuda itu ingat raut sang mandor agak berkerut kesal tadi. Ah, sepertinya ini pertanda tidak bagus. Sepertinya ia berbuat salah. Tapi, apa? Kenapa ia tidak diberitahu sebelumnya? Sang pemuda belum bisa menentramkan hatinya ketika ia sampai di hadapan sang mandor. Mungkin itu sebab kenapa mukanya agak masam tidak seperti biasanya. Sang mandor pun memasang muka tidak senang.

“Kamu kok, dipanggil-panggil tidak dengar? Apa karena suara di bawah terlalu bising??” Lelaki itu tidak menjawab. Jujur saja, ia masih kesal—tapi sekuatnya meredam. Ia sebenarnya ingin menjawab pertanyaan mandor sekaligus bertanya balik soal kasus penimpukan. Tapi, sebelum lidahnya bermain, mulut mandor terlebih dahulu terbuka.

“Kamu mau kerja tetap tidak?”

Apa? Kerja tetap? Maksudnya? Si lelaki muda tidak mengerti apa yang terjadi.

“Mau tidak?”

Dia mengangguk walau sepenuhnya belum mengerti.

“Kalau begitu, ikut saya.”

Dan, sang mandor pun mengantarkannya bertemu sang pemilik gedung. Lelaki muda itu pun diperkenalkan dan dipromosikan habis-habisan. Dia nyaris tidak bisa berkata apa-apa ketika orang yang menimpuknya justru mengeluarkan semua kalimat terbaik untuknya.

Dipujinya ia atas kualitas kerja yang selama ini ia tunjukkan. Dipujinya ia atas akhlak dan moral yang selama ini ia pegang. Lelaki muda tertegun dan merasa malu. Rasa kesal di hatinya lenyap. Musnah tak bersisa. Bahkan, ia menitikkan air matanya ketika akhirnya ia ditawari kerja oleh sang pemilik gedung. Dia menerimanya dengan luapan rasa terima kasih pada sang mandor.

Ketika sang pemilik gedung pergi, sang mandor tersenyum padanya. Ditepuk-tepuknya pundak lelaki muda seraya berkata, “Maafkan saya, ya? Saya menimpuk kamu dengan batu bukan ingin menyakiti, kok.

Saya hanya ingin kamu menengok ke atas dan segera ke sini untuk segera bertemu pemilik gedung yang sedang cari pegawai. Saya ingat cerita kamu yang bilang butuh kerja tetap buat membiayai adik-adikmu. Selamat, ya! Saya turut senang.”Dan, lelaki muda itu pun menyalami sang mandor dengan menangis. Berterima kasih. Sangat-sangat berterima kasih atas semua pertolongannya.

Dalam hidup kita, ada kalanya Tuhan menimpuk kita seperti mandor menimpuk lelaki muda. Sakit memang. Pedih memang.

Batu-batu itu sering kita tatap dengan marah dan kecewa. Kita bahkan menamainya kutukan. Hukuman. Ketidakadilan. Dan, lebih kesal lagi ketika kita “menatap” Dzat yang menimpukkannya kepada kita.

Kenapa Dia melemparkan semua batu itu kepada kita? Apa mauNya? Kenapa Dia menyakiti kita? Jika Dia mengakui dirinya Mahacinta, kenapa kita dilempariNya batu-batu yang membuat kita membenciNya?

Jawabannya mudah saja. Karena kita tidak mau menengok ke atas. Kita terlalu sibuk dalam hidup dunia—padahal ada yang lebih baik dari itu semua. Dan, segala yang lebih baik itu persis ada di sisiNya.

Dia tahu kita tidak akan menengok sebelum ada yang membuat kita menengok. Dunia terlalu menyedot perhatian kita. Keindahan alam ini terlalu menyita mata, telinga, dan jiwa kita. Karena itulah, Tuhan “menyakiti” indera kita. Agar kita terganggu oleh rasa sakit. Agar kita mencari siapa yang menyakiti dan mengganggu kesenangan hidup kita.

Agar kita tahu bahwa ada yang lebih baik dari hidup ini. Agar kita segera ke atas dan menemuiNya. Dan, Dia pun akan tersenyum pada kita dengan senyuman terbaikNya. Walau sepanjang perjalanan menuju atas kita berburuk sangka padaNya. Walau kita kecewa dan gusar pada batu-batuNya yang menyakitkan luar biasa.

Tuhan memang Mahacinta. Bahkan ada cinta dalam tiap sakit yang diberikanNya. Batu-batu itulah yang membuat kita belajar tegar. Batu-batu itulah yang mendidik kita untuk sabar dan tidak sesumbar. Batu-batu itulah yang mengangkat dosa kita. Menambah pahala. Mengangkat derajat kita hingga dekati taman-taman teduhNya. Kalau batu-batu itu bukan cinta, lalu mereka itu apa namanya? [Fatih Zam/Mizanmag/topmotivasi.com]
Loading...
Back To Top